top of page

A Lil Man Who Knew How to Fight!

  • Sep 12, 2013
  • 6 min read

Beberapa waktu yang lalu, ada sebuah e-mail di sebuah milis yang bertemakan pro life.

E-mail ini berasal dari seorang perempuan berusia sekitar 18 tahun yang mengatakan dia hamil, dan sedang “galau” apakah dia akan mempertahankannya atau tidak.

Saat Saya membaca e-mail ini, hati saya tergelitik.

Saya tergerak untuk segera menghubungi alamat e-mail perempuan muda itu, tetapi di sisi lain saya bertanya: “Apa yang bisa saya lakukan?” Kalau Saya bilang jangan aborsi… terus apa? Saya mau adopsi gitu?"


Setelah bergumul, saya membalas e-mail perempuan muda ini, mengajaknya untuk bertemu dan bertanya apa yang dapat Saya bantu supaya hidup janin itu terselamatkan?

Dia membalas e-mail Saya sampai akhirnya saya merasa dia cukup comfortable dengan saya, sehingga dia memberikan no kontaknya kepada Saya sehingga Kami bisa berkomunikasi via text.

Di situlah dimulai percakapan kami, yang membawa saya kepada pengenalan saya kepada seorang sosok yang mengubah hati saya.

Sebut saja perempuan muda ini Nina (bukan nama sesungguhnya).

Nina cerita kalau dia sudah menegak beberapa pil yang dia tahu dapat meluruhkan janin yang ada dalam kandungannya.

Ia tidak siap menerima janin ini karena pacarnya adalah suami orang dan kondisi ayah-ibunya juga sedang dalam keadaan yang tidak baik.

Saat itu saya tidak tahu harus berkata apa, bahkan saya sendiri mempertanyakan ke diri Saya, kalau Saya ada di posisi Nina apa yang akan Saya lakukan?

Tetapi saya teringat akan satu hal yang pasti, yang saya percayai, bahwa tidak ada kebetulan di dalam dunia ini.

Bila seorang manusia tercipta oleh karena sebab apapun - Allah sang pencipta PASTI punya rencana besar atas kehidupan baru ini.

Saya pernah merasakan diri saya sebuah kesalahan.

Saya pernah hampir merasakan kematian.

Bila saat ini saya masih hidup, this is my 2nd chance and I won’t let one life pass away with no fight at all!!!

Selama 2 hari saya hanya menjadi teman bicara Nina via texting.

Saya berusaha menjadi pendengar dan mengerti keadaannya, tetapi di sisi lain, saya berusaha menyampaikan ke Nina bahwa “Aborsi bukan jalan keluar! karena saya membaca lebih banyak efek samping secara fisik dan psikologis yang akan dialami oleh sang Ibu seumur hidupnya dibandingkan mempertahankannya dan mencari jalan keluar untuk itu.” Tetapi Nina bersikeras untuk tidak memperhatikan janinnya.


ree

Sampai suatu sore setelah Saya agak memaksa dia untuk pergi ke dokter kebidanan, akhirnya Nina memutuskan pergi dengan pacaranya, dan melakukan USG pertamanya.

Saat itu untuk pertama kalinya Nina melihat, anak dalam kandungannya.

Jantung nya berdetak, dan janin yang tadinya terpikir hanya ‘sesuatu’ oleh Nina - dia melihat bahwa janin itu berbentuk seorang manusia dengan jantung yang berdetak di dalamnya.

Pulang dari dokter Nina menceritakan pengalamannya kepada Saya, dan pembicaraan via text itu menjadi pembicaraan yang penuh derai air mata… (paling engga sih dari pihak saya heheheh…)… saya ingat waktu Nina berkata:

“Ngga nyangka ya Mbak.. anak itu masih hidup, setelah apa yang saya lakukan ke dia.”

Saya hanya menjawab: “Saya cuma merasa dia berjuang keras ingin melihat Ibunya. Dia ingin hadir ke dunia untuk melihat ibu bapaknya yang mencintai dia.” Lalu Nina berkata: “Mencintai? Setelah apa yang saya lakukan ke janin ini?” Saya hanya menjawab: “Anak ini belum mengerti apa namanya kebencian. Dia tercipta karena kehendak Allah, dan Allah adalah kasih, jadi yang dia tahu ya hanya kasih. Jadi rasanya dia berjuang untuk hidup, untuk bertemu dengan mamanya.” Setelah kalimat itu, Saya hanya dijawab oleh Nina dengan icon orang menangis - lalu it was a silent mode between us. Tetapi malam itu Nina akhirnya sampai pada keputusan, akan mempertahankan janin itu.

Ia akan merawatnya dengan baik mulai saat itu. Mempertahankan seorang anak dengan kondisi Nina saat itu adalah sesuatu yang benar, tetapi tidak mudah, sehigga saya terus menyemangati dia untuk mendekat kepada Allah. Sholat 5 waktu, sholat tahajud, ngaji, dan lakukan semua aktivitas yang mendekat kepada Allah… hanya itu yang bisa saya lakukan untuk menyemangati Nina dari jauh… Saya ingat hari itu hari Jumat malam.


Sabtu siang, Nina text Saya mengabarkan bahwa dia flek dan perutnya terasa nyeri seperti orang mau menstruasi.

Saya agak memaksa waktu itu untuk mendatangi rumahnya dan mengantarkan dia ke dokter, tetapi seperti biasa Nina menolak.

Sampai akhirnya Sabtu sore Nina diantar pacaranya ke dokter, dan oleh dokter diberi obat penguat rahim dan diminta untuk bed rest.

Ketika Sabtu malam Nina pulang ke rumah dan kami terus saling kontak.

Hati saya sedih mengalami semua proses ini.

Saya seorang dokter, tetapi di saat seperti ini Saya merasa helpless - tidak bisa berbuat apa-apa dan tidak mampu melawan kehendak bebas seseorang untuk mempertahankan atau membuang kehidupan.

Saat itu saya kembali teringat bahwa I am not the savior of the world.

Sepanjang malam saya menyemangati Nina untuk terus bertahan dan tidak putus asa akan kehidupan yang hadir di dalam rahimnya.

Terus saya ingatkan Nina untuk tahajud, mohon ampunan dan minta Allah menunjukkan jalan untuk kebaikan dirinya.

Sampai hari Minggu siang, Nina text saya lagi dan berkata: “Darah makin banyak keluar Mbak, perutku makin sakit, kayaknya ada yang ngga beres, aku mau ke dokter lagi.”

Itu berita terakhir Nina, sampai kemudian di hari Minggu malam Saya menerima kabar, bahwa janin itu sudah tidak ada.

Kehidupan itu sudah pergi meninggalkan Nina.

Malam itu setelah menerima kabar itu…

Saya menangis. Saya merasa gagal.

Saya merasa begitu kecil dan tidak berarti.


Kisah ini hanya satu kisah, dari begitu banyak kasus aborsi yang terjadi di Indonesia. Angka aborsi di Indonesia menurut statistik 2010 adalah 2,5 juta kasus/ tahun.

Artinya: sejak saya mulai menuliskan kisah ini sampai detik ini sekitar 10 menit, sudah ada 5 kasus x 10 menit. Sudah ada 50 pembunuhan janin yang tak bersalah di negara yang katanya beragama ini! Sebagai seorang Dokter, Saya ingat waktu mengucapkan sumpah Hipocrates - Saya bersumpah untuk mempertahankan kehidupan, bukan membunuh kehidupan. Seharusnya setiap Dokter di seluruh Indonesia mengucapkan sumpah yang sama dan seyogyanya menjalankannya.

Tetapi angka statistik ini mengejutkan dan rasanya (bahkan pastinya!) kita harus berbuat sesuatu.

Malam itu… Saya kembali berkomunikasi dengan Nina setelah Ia pulang dikuret.

Saya bertanya, bolehkan saya mendoakan anak ini?

Malam ini Nina baru tahu kalau saya seorang Katolik, dan Nina agak terkejut karena menurut Nina saya cukup fasih saat menyemangati nya dengan terms yang banyak dipakai oleh agama Islam… hehehe…

Saya menceritakan Saya seorang Katolik, tetapi Saya besar di lingkungan yang banyak berinteraksi dengan saudara-saudara dari Moeslim.

Saya mengatakan bahwa di agama Katolik, Kami mendoakan setiap kehidupan yang pernah hadir di dunia ini.

Kami mendoakan arwah mereka dan meminta Allah mengasihani mereka dan membawa mereka kepada hadirat Allah sehingga mereka dapat hidup selama-lamanya dengan Allah. Saya menanyakan: “Sebagai Ibunya, Nina merasa itu cowok atau cewek?” Nina jawab: “Cowok Mbak, dan aku sudah punya nama buat dia: A**a.

Lalu Ia berkata: "Mbak ada dari awal seluruh proses ini… apakah Mbak bersedia memberi last name pada anak ini?” Saat membaca permintaan Nina itu… saya langsung mewek tingkat 7 hehehe… It is really a privilege for me diijinkan memberi nama kepada anak ini.

Anak yang mengagumkan karena dia berjuang demikian keras untuk kehidupannya.

Saya berpikir sejenak… dan kemudian saya berkata ke Nina: “Mercio… I will give him last name: Mercio.”

Saat memikirkan nama itu saya teringat akan belas kasihan Tuhan kepada anak ini, memberinya kehidupan dan kemudian anak ini bertahan demikian kerasnya sampai setelah beberapa upaya untuk mengugurkan dia, jantungnya masih berdetak dengan kencang di USG terakhir.

Bagi saya tidak ada pernyataan lain bahwa itu adalah belas kasihan Tuhan terhadap anak ini dan Nina yang dapat melihat anaknya untuk terakhir kalinya. Mercio juga berarti pejuang, dan tidak disangkal dia adalah seorang pejuang kehidupan. Dia boleh tidak diingat lagi, bahkan kehadirannya tidak diketahui dan tidak dikehendaki oleh kedua orang tua atau kakek neneknya, tetapi bagi saya A**a Mercio akan selalu hadir mengingatkan Saya untuk terus berjuang bagi kehidupan.


Saya tidak dikaruniai anak.

Kami membuka pernikahan Kami untuk sebanyak-banyaknya berkat kehidupan hadir dalam pernikahan Kami, tetapi tidak satupun hadir.

Bagi Saya, kesempatan dapat memberikan nama kepada Mercio adalah hal yang menghangkatkan hati saya.

Dari waktu ke waktu Tuhan menyapa hati saya dengan kehangatan akan kehidupan baru. Mengingatkan saya akan harapan yang selalu ada bagi diri saya. Selalu akan ada kehidupan yang hadir dalam cerita hidup Saya kalau Saya setia.

Bagi saya kehadiran Mercio memberikan saya arti… bahwa apapun yang terjadi, sekecil apapun yang bisa kita lakukan untuk memperjuangkan kehidupan - pasti akan berarti. Seperti seorang anak laki-laki bertahun-tahun lalu, yang juga hampir diaborsi ibunya, dan dia menyelamatkan nyawa saya… Mercio yang telah kembali ke pangkuan Allah juga menyapa dan mengingatkan hati saya kembali akan makna kehidupan. Mercio teaches me how to fight. He was a boy who knew how to fight! Dengan semangat itu saya terus diingatkan untuk terus berjuang memperjuangkan kehidupan.

Save a life… one day at a time.

You will see miracles!

Comments


© 2020 by LiaBrasali.

bottom of page