Dance with My Father: The Fireworks in Me
- Jan 1, 2020
- 2 min read
The Fireworks in Me
Saya tiba di kamar kos saya. Tidak ada yang berubah di dalam kamar kos saya tersebut. Semua masih sama. Tetapi waktu saya melangkah masuk ke kamar saya itu, ada rasa berbeda. Sangat berbeda. Saya memandang tempat tidur saya yang masih berantakan. Masih teringat jelas apa yang terjadi di atas tempat tidur itu. Saya duduk di atas tempat tidur saya. Menghela nafas panjang sambil mengambil plastik obat yang menjadi pertarungan hidup saya selama 2 hari belakangan ini. Saya rapikan tutup plastik obat itu, dan saya simpan di dalam lemari meja belajar.
Terdengar ketukan pintu. Ternyata Oom yang kemarin menyapa saya. “Nona, dipanggil Oom dan Tante, diajak makan bersama. Nanti malam mau pasang kembang api.” Saya sempat bengong sejenak – hah? Kembang api? Baru saya tersadar ini tanggal 31 Desember 1999. Di mana-mana bakal jadi pesta besar bergantian tahun milenium ini. Saya tersenyum. Ini Oom mantan pasien Rumah Sakit Jiwa. Artinya… dulu dia orang gila. Literally gila. Tapi rasanya kok dia lebih waras dari laki-laki yang Saya kenal - yang katanya lulusan luar negeri itu.
Paling tidak saya merasa diperhatikan oleh Oom ini… *sigh*
Rasanya kemarahan di dada ini begitu besarnya, sampai apapun yang tidak ada hubungan nya saya hubung-hubungkan ke situ. Saya menjawab: “Terima kasih Oom, bilang sama Oom dan Tante ya saya menyusul, saya mandi dulu.” Saya menutup pintu. Tiba-tiba kembali rasa sakit, kesepian, dan sendirian seperti mencekam hati ini. Rasanya ingin menangis, tetapi herannya tidak ada satu tetes air matapun yang keluar dari mata saya. Saat ini Saya melihat ke belakang dan teringat, bahwa air mata itu tidak mampu keluar sampai bertahun-tahun kemudian. Kayaknya ductus lacrimalis Saya pun sudah tidak mampu lagi mengalirkan air mata.
Saya baru saja lolos dari sebuah kematian. Tetapi hati ini tidak luput dari kekerasan dan dinginnya hawa kematian.
Baru kali itu saya berkumpul dengan teman-teman kos saya.
Dua teman ujian negara saya mendapatkan kos di tempat lain, sehingga saya hanya sendirian di situ. Malam itu saya berkenalan dengan seseorang gadis Bali yang cantik, yang kemudian menjadi sahabat saya sampai hari ini. Malam itu saya bertemu dengan banyak kehidupan yang membuat rasa sakit hari ini mampu teralihkan. Kami makan malam bersama, dan menjelang jam 12 malam – Kami mulai membakar stock kembang api yang Oom sudah siapkan untuk anak-anak kos nya. Kami berkumpul sampai kira-kira 1 jam – menjelang jam 1 pagi atau jam 12 malam waktu Jakarta saya punya keinginan yang luar biasa untuk menelpon ke Jakarta.
Tetapi semua ingatan akan perjalanan dari hutan bakau ke Malalayang tadi sore membuat saya berkata ke diri saya sendiri: “If you do that, you better get in to your room and eat all the pills. What a shame!”
Tahun baru sudah lewat. Ini tahun 2000. Ini awal abad ke-21.
Saya berjanji saya juga akan menjadi perempuan yang baru. Saya yang lama terbakar bersama kembang api yang sudah dibakar tadi. Saya tidak akan mengijinkan diri saya, untuk mencintai lagi.
So help me Lia!
(because for me there was no God anymore!)
to be continued: https://www.liabrasali.com/post/a-dance-with-my-father-dance-with-me-my-girl (The End)



Comments