top of page

Part 3: Printing a Galley of Blessing from The Poor

Okayyy now we start day #3

Kami pergi ke satu dusun bernama Samigaluh.

Begitu Kami sampai, pemandangan yang sama seperti desa-desa sebelumnya.

Telah menunggu begitu banyak penduduk yang datang untuk pengobatan dan pengambilan beasiswa.

Kami mulai dengan agak cepat pagi ini, karena siang nanti kami harus kembali ke Yogja untuk penerbangan pulang ke Jakarta.


Karena ramainya antrian, ada mereka mendaftar dengan berdesak-desakan.

Sampai dr. Welly harus berteriak untuk mengingatkan (dengan bahasa Jawanya yang fasih dan dengan nada yang sabar):

“Mbah, sabar nggeh… jangan dorong-dorongan nanti jatuh, semua pasti diperiksa dan dapat obat kok… Sabar nggeh”

Tak lama terdengar ada jawaban yang tidak disangka-sangka menanggapi apa yang dr. Welly katakan. Celetukan itu datang dari seorang nenek yang membalas teriakan itu dengan jawaban (dengan bahasa Jawa pula tentunya tetapi dengan nada yang tak kalah halus dan penuh kepolosan): “

Setiap hari kok disuruh sabarrrrr…”

Mendengar celetukan polos itu, spontan Kami semua tertawa, tetapi di hati saya yang terdalam rasanya ada pilu yang menggores.

Rasa pilu yang sudah menjadi kesehari-harian mereka.

Mereka harus sabar menghadapi semuanya.

Sabar antri pengobatan, sabar antri uang jatah orang miskin, sabar antri jatah beras, sabar antri jatah minyak, sabar, sabar, dan sabar… rasanya adalah sahabat mereka yang terbaik di hari-hari mereka.

Sedangkan saya… juga berkata sabar terhadap diri saya.

Sabar karena tidak bisa punya segala yang saya mau mis: Iphone edisi baru, liburan setiap tahun ke luar negeri.

Sabar karena kepanasan saat AC di kamar bermasalah.

Sabar karena orang tidak cepat mengerti apa yang Saya katakan.


Saya mulai berefleksi.

Apakah saya layak untuk sabar?

Sedangkan segala kemudahan dan kecukupan yang diberikan di dalam hidup Saya.

Hal ini mengganggu hati Saya.


Berikutnya saat memeriksa satu Mbah-Mbah tua, Saya sedang menasehati agar si Mbah jangan terlalu sedih (dan tentu saja terus sabaarrrrrrr!), Mbah itu terus memandangi wajah Saya dan menatap Saya dalam-dalam sambil terseyum lebar dan penuh kasih. Saya pikir si Mbah sedang mendengarkan nasihat Saya. Tetapi kemudian ia memegangi tangan saya, dan memegang pipi Saya dengan kedua telapak tangan tuanya yang kasar dengan berkata dalam bahasa Jawa: ”Dokter kok putih dan cantik sekali…”

Si Mbak mengulangi itu berkali-kali sambil tersenyum lebar.

Saat mendengar itu, dengan sekuat tenaga Saya berusaha menahan air mata keluar dari mata saya.

Kata-kata positif dan memuji keluar dari mulut seorang Mbah lemah yang sakit, dia hanya sebentar menceritakan sakitnya, dan hanya sekejab bisa tertawa dengan bahagia melihat sesuatu yang membuatnya tersenyum.

Ia terus memegang wajah sayang dan kemudian waktu selesai dengan resep, ia memeluk saya dan menciumi muka saya.

Saya hampir tidak kuasa menahan hati saya yang rasanya sudah jatuh menggelinding di lantai karena pelukan nenek itu yang penuh dengan ketulusan dan kasih.

Bukan lewat uang yang berkelimpahan Saya merasa diberkati, tapi oleh pelukan seorang nenek yang sederhana dan polos. Ia menyatakan terima kasihnya ke Saya dengan sepenuh hari, padahal practically Saya tidak melakukan apa-apa untuknya.


Berinteraksi dengan setiap mereka yang begitu sederhana, memegang tangan saya dan tersenyum lebar waktu Saya ajak bicara membuat hati ini bergetar.

Mendengar kata-kata mereka yang tidak diwarnai oleh keluhan sangat menceritakan keluhan sakit mereka, membuat saya rasanya ingin masuk ke bawah kolong meja, malu melihat diri saya sendiri yang nafas saja kadang suka komplain.


Hari itu saya belajar dan kembali bertanya: "

Dari mana mereka mendapat rahmat sebesar itu?"

Mungkin ini arti yang Mama Saya sering katakan kepada Saya:“Biar miskin, tetapi kaya…” Rasanya… Saya menemukannya di sini.


Haripun beranjak makin siang.

Tanpa terasa sessi pengobatan yang terakhir telah selesai Kami lakukan.

Kami bersama dijamu oleh makanan yang sudah disediakan oleh tuan rumah yang kebetulan adalah ketua stasi desa Samigaluh.

Nasi, sayur papaya, tahu, dan belut goreng.

Hhhhmmm… jujurnya yaaaa - kalau saya ada di rumah, saya memilih untuk tidak memakan itu semua, dan buat Indomie goreng pakai cabe rawit yummmmm.

Tetapi ‘terpapar’ oleh realita hidup yang demikian keras selama dua hari ini, membuat Saya malu untuk bertingkah laku manja, dan tidak memakan berkat yang sudah disiapkan dengan penuh kasih dan berkelimpahan itu.

Akhirnya saya menelan setiap kunyahan daun papaya yang pahit itu dengan tidak berani complain!

Hidup mereka mungkin lebih pahit daripada pahitnya daun papaya, dan mereka tidak complain, bahkan masih bisa tersenyum. Masakan saya harus membuang berkat ini hanya karena alasan saya tidak suka, dan complain akan berkat ini?!?


Setelah selesai makan dan berpamitan dengan semuanya, Kami naik ke mobil untuk kembali ke Jakarta melalui Jogja.

Dalam mobil - Kami semua baru merasakan kelelahan, dan semua terdiam dalam istirahat/ tidurnya masing-masing.

Saya sendiri tidak mampu tidur, yang ada dalam benak saya, hanya rekaman setiap kejadian dan wajah-wajah pasien yang saya periksa selama dua hari ini.

Wajah setiap anak yang tersenyum memegang amplop beasiswa di tangan mereka.

Wajah para embah2 yang tersenyum sewaktu saya periksa dan mendapatkan obat.

Ucapan terima kasih yang diucapkan dan setiap kali itu seperti siraman air sejuk di hati Saya.


Pasti menyenangkan menjadi seorang Pak Mul yang bersusah-payah dan bertebal muka mencari bantuan donatur dan melihat setiap senyum yang terlukis di setiap wajah anak-anak dan orang-orang sakit itu.


Sesampainya di airport, kami harus menunggu dua jam untuk keberangkatan kami.

Saya ngobrol-ngobrol dengan dr.Welly dan Ia menceritakan satu kejadian yang kembali membuat hati saya bergetar.

Dr. Welly bercerita, di prakteknya di Warakas, ada seorang nenek yang sudah bertahun-tahun menderita stroke dan tidak bisa keluar rumah. Sehingga akhirnya dr. Welly yang mendatangi rumah nenek itu secara rutin dan memeriksanya.

Pada kunjungan yang ke-3, sang nenek bertanya kepada Welly:

“Dokter namanya siapa?”

dr. Welly menjawab:

“Akkhh… buat apa sih nenek tahu nama saya segala… yang penting khan tiap kali Saya datang kemari mengunjungi nenek. Ini sudah yang ketiga kalinya… Nama saya tidak penting lah. Tapi memangnya, buat apa nenek mau tahu nama Saya?”

Dan nenek itu menjawab dengan polosnya:

“Supaya saya bisa menyebut nama dokter di setiap doa malam saya.”

Saya memandang wajah dr. Wellly saat itu. Kejadian itu sudah berlangsung beberapa tahun yang lalu, tapi saat menceritakannya, Ia masih penuh semangat dan mata yang agak memerah.

Saya tahu… ia menahan rasa harunya, seperti saya juga terharu mendengar ceritanya.

dr. Welly berkata:

”Waktu mendengar itu gw rasanya malu banget. Bayangkan… seorang nenek yang tidak berpendidikan dan sederhana, menyebut gw dalam tiap doa malamnya! Gw yang berpendidikan, dan seorang dokter! Kadang tidak tahu terima kasih dan lupa menyebutkan nama orang yang menolong gw. Sejak saat itu rasanya… gw yang berhutang budi ke nenek itu!”

Hhhmmm Saya mengerti perasaan itu.

Saat seperti itu benar-benar membuat diri kita dikasihi. Cara yang tidak terbayangkan untuk dikasihi.

Tetapi Tuhan selalu memberkati Kita dengan berkat-berkat kecil disekitar kita.

Kalau saja…. Yaahhhh… kalau saja… kita mau sebentar menyadarinya dan bersyukur. Pasti dunia ini menjadi tempat yang lebih baik.


Di dalam pesawat… Saya teringat adik-adik Mudika yang selama ini ada bersama saya. Betapa mereka hidup dalam berkelimpahan.

Betapa mereka tidak perlu berjalan dua jam hanya untuk mengambil beasiswa yang ‘hanya’ seharga 70rb.

Betapa mereka tidak perlu berjalan kaki untuk ke sekolah selama 4 jam pulang pergi.

Betapa mereka tidak harus makan nasi yang hanya dengan kecap untuk sehari-hari mereka. Betapa mereka tidak perlu pusing akan apapun juga karena semua sudah disediakan oleh orang tua mereka.

Dan lewat semua itu… saya masih sering mendengar mereka complain akan semua yang mereka dapatkan.

Rasanya mereka sekali-kali harus datang ke tempat seperti ini, di mana setiap tetes keringat sangat berarti, dan setiap butir nasi dapat menyambung nafas mereka.


Akhirnya saya sampai di Jakarta, kota tempat saya lahir dan dibesarkan.

Kota yang membentuk saya menjadi seperti hari ini.

Betapa hati ini bersyukur atas nikmat yang Tuhan berikan kepada saya.

Sesampainya di airport langsung dijemput suami tercinta, dan langsung makan bakmi kesukaan saya!

Setelah melalui 2 hari yang tadinya saya pikir menjadi ‘api penyucian’ bagi saya, rasanya saya malu untuk berkata bahwa yang Saya alami 2 hari ini adalah api penyucian.

Mungkin justru Saya yang menjadi api penyucian untuk mereka, karena tingkah laku saya yang mungkin menyebalkan (biarpun kayaknya tidak).

Betapa Tuhan mengasihiku.

Saya pergi dengan berpikir bahwa dengan keahlian dan kemampuan yang Saya miliki, Saya akan memberkati mereka. Tetapi ternyata Saya pulang dengan mendapati kenyataan bahwa justru Saya lah yang diberkati oleh mereka yang notabene orang sederhanan dan tidak mempunyai apa-apa menurut kaca mata dunia.

Sekali lagi - Saya pulang dengan keadaan: SAYA DIBERKATI!!!


Bukan dengan hotel bintang lima, makanan mewah, kamar mandi dengan bath up, dan semua keindahan, tetapi dengan hidup-hidup sederhana yang berjuang menjalani kehidupannya di dunia ini dengan penuh syukur dan suka cita.


Saya mendulang emas lewat kehidupan mereka.

Saya mendulang berkat lewat kesederhanaan mereka.

Kepapaan mereka adalah kekayaan bagi saya.

Pernyataan kasih dan perjuangan hidup mereka seperti emas yang saya dapat dua hari kemarin.


Doakan saya… supaya saya tidak melupakan semua peristiwa ini…!


The End

Comments


© 2020 by LiaBrasali.

bottom of page